Industri Pertambangan Belum Membawa Kesejahteraan Masyarakat
Jakarta (Greeners) – Industri pertambangan yang digadang-gadang sebagai salah satunya pilar perekonomian Indonesia belum sanggup membuat dampak positif pada kesejahteraan warga. Ini tersingkap dalam penelitian terbaru Greenpeace Indonesia bersama Center of Economics and Law Studies (Celios) yang dengan judul Kesejahteraan Semu di Bidang Ekstraktif.
Penelitian itu temukan jika desa-desa yang jadikan bidang pertambangan, sebagai bidang khusus ekonominya sering hadapi rintangan besar untuk terhubung kesejahteraan. Warga di tempat tetap memiliki pendidikan lebih rendah, kesusahan mendapatkan air bersih, dan akses ke layanan kesehatan.
Di lain sisi, warga rawan pada musibah alam seperti banjir dan kebakaran rimba, sampai alami kendala peningkatan usaha kecil dan micro.
BACA JUGA: Pertambangan Masyarakat, Presiden Beri 7 Perintah Berkaitan Pemakaian Merkuri
Nailul Huda, Ekonom Celios, menjelaskan jika tidak dapat disangkal, bidang pertambangan dan penggalian memang berperanan klik here penting pada perkembangan dan perubahan perekonomian Indonesia. Walau demikian, bidang ini juga berpengaruh negatif juga untuk warga dan lingkungan.
«Telah waktunya kita adopsi peraturan ekonomi baru yang memberikan dukungan konservasi alam dan kenaikan kesejahteraan warga,» sebut Huda dalam Dialog dan Penyeluncuran Penelitian Kesejahteraan Semu di Bidang Ekstraktif di Jakarta, Rabu (26/6).
Industri Pertambangan Berpengaruh pada Pendidikan
Riset ini Greenpeace dan Celios kerjakan sepanjang 3 bulan dengan memakai pendekatan kualitatif serta kuantitatif. Analisa kuantitatif memakai analitis panel data dan logit.
Riset ini memakai data dari survey Kekuatan Dusun (Podes) Tubuh Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 dan 2021. Data itu meliputi keseluruhan 1.027 dusun dari 14 propinsi di Indonesia. Riset secara eksklusif menyorot 200 dusun yang memiliki mata pencarian khusus di bidang pertambangan.
Hasil riset ini memberikan dukungan tesis ada imbas negatif bidang pertambangan pada pendidikan di dusun, yang bidang intinya ialah bidang pertambangan. Desa-desa dengan bidang khusus tambang condong memiliki jumlah sekolah resmi lebih sedikit dibanding desa-desa bukan tambang.
Data BPS tahun 2021 yang Greenpeace dan Celios olah memperlihatkan, dusun tambang rerata memiliki 3.04 unit sekolah resmi dari tingkatan SD sampai SMA di setiap dusun. Jumlah ini cuma 1/2 dari rerata sekolah resmi di dusun non tambang, yakni 6.11 unit.
Daerah Tambang Sangat Terimbas
Penelitian memperlihatkan jika daerah tambang sangat terimbas dibanding daerah non tambang. Contohnya, bidang khusus tambang memiliki kesusahan lebih tinggi pada air minum bersih dibandingkan dusun yang memercayakan bidang selainnya tambang. Selanjutnya, dusun di dekat daerah tambang memiliki kekuatan air dan tanah terkontaminasi sampah lebih tinggi dibandingkan dusun lain.
Dalam pada itu, desa-desa disekitaran daerah tambang memiliki kekuatan alami musibah alam semakin tinggi dibanding dusun yang jauh dari tambang. Musibah itu mencakup banjir dan kebakaran tempat.
BACA JUGA: APRI Claim 85 % Penambang Emas Placer Telah Tidak Memakai Merkuri
Data Podes yang Greenpeace Indonesia dan Celios olah memperlihatkan 1 dari 2 dusun dengan bidang khusus tambang alami kebanjiran pada tahun 2018. Sementara, cuma 1 dari 4 dusun non tambang yang alami kebanjiran pada tahun itu.
Greenpeace Dorong Implikasi Ekonomi Hijau
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menambah, pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang hendak mulai memegang pada Oktober kelak perlu memiliki loyalitas kuat. Mereka perlu menerapkan peraturan ekonomi hijau. Hingga, Indonesia dapat selekasnya berpindah dari ekonomi ekstraktif.
«Kegiatan ekonomi ekstraktif memaksakan Bumi melebihi batas yang dipunyainya dan meremehkan keperluan-kebutuhan manusia agar dapat hidup sejahtera,» ungkapkan Leonard.
Dengan begitu, Leonard menekan jika memerlukan loyalitas politik yang kuat dari pemerintah Prabowo-Gibran untuk kurangi keterikatan pada industri ekstraktif. Mereka harus menggerakkan berpindah ke ekonomi hijau untuk menangani kritis lingkungan dan sosial dari industri pertambangan saat ini.